Di sebuah desa bernama Penarun, yang letaknya berada
di Tanah Gayo, hiduplah keluarga petani yang sangat miskin. Mereka terdiri dari
ayah, ibu, dan kedua anaknya yang masih kecil. Anaknya yang tertua berumur 7
tahun, sedangkan adiknya masih menyusui. Karena kehidupannya yang sangat
miskin, setiap hari di waktu senggang setelah bertani, sang ayah berburu di
hutan dan menangkap belalang-belalang di sawah.
Belalang-belalang tersebut dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam lumbung. Biasanya belalang-belalang itu diolah menjadi
makanan oleh istrinya dan sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan makanan
mereka sehari-hari. Sebab sawah mereka yang Cuma beberapa petak tidak
menghasilkan apa-apa. Suatu hari sang ayah pergi ke hutan berburu karena tidak
punya pilihan lain untuk menafkahi keluarganya, lalu berpamitan kepada
istrinya,
“Ine,…. jegei kekanak ni I umah ni, aku beluh mulo
mungaro, doanen buge depet si kul e, kati genap kin kite sara keluarga, ike aku
gere ilen ulak enti kase I uke-uke pintu ton ni lompong ho” kata sang ayah.
“Boh mi ama.” kata istrinya.
hari sudah siang, sang ayah tidak pulang-pulang
membawa hasil buruannya, sedangkan kedua anaknya sudah merengek-rengek menahan
lapar. Sang ibu sangat sedih sekali melihat anak-anaknya menangis, lalu ia
pergi ke dapur mencari sesuatu yang dapat dimakan, tetapi tidak ada saau pun
yang dapat dimakan. Lalu ia teringat akan belalang-belalang yang dikurung
suaminya di lumbung dan memanggil anaknya yang tertua.
“Win…! Tengkam ko mulo lompong-lompung si kurung ama
mu ho. Kati ine jerang kin mangan ni kam.” kata Ibunya
“Boh mi ine.” kata anaknya
Lalu pergilah anaknya ke lumbung tempat
belalang-belalang yang tidak jauh dari rumahnya. Lalu dibukanya pintu lambung
itu dan ditangkapnya satu per satu dan dimasukkannya ke dalam kantong yang
telah disiapkan sebelumnya. Tetapi hal yang tidak diinginkan terjadi,
“Sana kati tikik mi we lompong-lompong ni?, sine
lagu dele pedi.” katanya dalam hati.Rupanya dia lupa menutup pintu lumbung itu.
Kemudian, anak itu kembali ke rumah sambil menangis
tersedu-sedu, dia sangat takut dimarahi orang tuanya. Tapi, mau tidak mau dia
harus menceritakan kepada Ibunya.
“Mukune anakku, hana kati mongot? Isi nge
lompong-lompong ne?” Tanya ibunya dengan lembut.
“Maaf Ine. Lompong ne nge meh luah, luoen aku
munutup pintu e.” kata anak itu sambil menangis. Terkejutlah si Ibu, pasti
suaminya akan sangat marah sekali bila mengetahui belalang-belalang yang sudah
susah payah dikumpulkan lepas semuanya karena kecerobohan anaknya. Tidak lama
kemudian pulanglah suaminya tanpa membawa hewan buruan satu pun.
“Serlo ni gere beruntung aku ine ! Gere ara sara peh
kona ku karo, lagu nge I betih e aku geh, meh temuni bewene wan umah e.” kata
sang ayah sambil terduduk lelah dan kesal. Lalu sang ayah berkata.
“Serlo ni mangan lompong din kite, Ine.” kata sang
ayah. Melihat sang ayah marah dan kesal, si Ibu bingung mau mengatakan yang
sebenarnya, tapi apa mau dikata, akhirnya si Ibu mengatakan dan berbohong untuk
menupi kesalahan anaknya,
“Maaf Ama, lompong ne nge meh muluah, lupen aku
munutup pintu e.” kata ibunya dengan suara menyesal. Lalu suaminya sangat marah
sekali, tanpa sadar menampar, memukul, dan mengusir Istrinya dari rumah. Sang
istri sangat sedih sekali akan perlakuan suaminya yang menyiksa dirinya lalu
dia pergi masuk ke dalam hutan menuju ke atu belah.
Tanpa disadari, ia diikuti oleh anaknya yang tertua
dengan menggendong adiknya yang masih bayi, lalu anak itu memanggil-manggil
Ibunya sambil menangis dan berteriak-teriak.
“Ineee,,, enti taringen kami Ineee,,,” dengan
berulang-ulang kali. Setelah bertemu lalu si Ibu menyuruh anaknya
pergi mengambil air minum karena ibunya sangat kehausan. Setelah anak tertuanya
pergi mengambil air, lalu sang Ibu pergi lagi meninggalkan anaknya, begitulah
sampai berulang-ulang. Setelah sampai di dekat atu belah, lalu sang ibu
menyanyikan lagu atu belah berulang-ulang kali.
“Atuu belaaaahhh atu bertangkup, ini nge sawah
janyingku dahuluuuuuuu uu u u u uu u “ Dan terbukalah batu itu, dan masuklah si
Ibu ke dalam batu itu tanpa menghiraukan teriakan anaknya lagi. Tiba-tiba
datanglah angin kencang dan awan pun menjadi gelap menyertai si Ibu ditelan atu
belah. Tinggallah kedua anaknya meratapi Ibunya dan mengambil sisa rambut ibunya
yang terjepit di luar atu belah.
Demikianlah akhir cerita ini. Pesan : Karena
kecerobohan seseorang dapat membawa petaka dan bencana.