Minggu, 27 Mei 2012

Cerita Dari Tanah Gayo “ATU BELAH”


Di sebuah desa bernama Penarun, yang letaknya berada di Tanah Gayo, hiduplah keluarga petani yang sangat miskin. Mereka terdiri dari ayah, ibu, dan kedua anaknya yang masih kecil. Anaknya yang tertua berumur 7 tahun, sedangkan adiknya masih menyusui. Karena kehidupannya yang sangat miskin, setiap hari di waktu senggang setelah bertani, sang ayah berburu di hutan dan menangkap belalang-belalang di sawah.
Belalang-belalang tersebut dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam lumbung. Biasanya belalang-belalang itu diolah menjadi makanan oleh istrinya dan sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka sehari-hari. Sebab sawah mereka yang Cuma beberapa petak tidak menghasilkan apa-apa. Suatu hari sang ayah pergi ke hutan berburu karena tidak punya pilihan lain untuk menafkahi keluarganya, lalu berpamitan kepada istrinya,
“Ine,…. jegei kekanak ni I umah ni, aku beluh mulo mungaro, doanen buge depet si kul e, kati genap kin kite sara keluarga, ike aku gere ilen ulak enti kase I uke-uke pintu ton ni lompong ho” kata sang ayah.
“Boh mi ama.” kata istrinya.
hari sudah siang, sang ayah tidak pulang-pulang membawa hasil buruannya, sedangkan kedua anaknya sudah merengek-rengek menahan lapar. Sang ibu sangat sedih sekali melihat anak-anaknya menangis, lalu ia pergi ke dapur mencari sesuatu yang dapat dimakan, tetapi tidak ada saau pun yang dapat dimakan. Lalu ia teringat akan belalang-belalang yang dikurung suaminya di lumbung dan memanggil anaknya yang tertua.
“Win…! Tengkam ko mulo lompong-lompung si kurung ama mu ho. Kati ine jerang kin mangan ni kam.” kata Ibunya
“Boh mi ine.” kata anaknya
Lalu pergilah anaknya ke lumbung tempat belalang-belalang yang tidak jauh dari rumahnya. Lalu dibukanya pintu lambung itu dan ditangkapnya satu per satu dan dimasukkannya ke dalam kantong yang telah disiapkan sebelumnya. Tetapi hal yang tidak diinginkan terjadi,
“Sana kati tikik mi we lompong-lompong ni?, sine lagu dele pedi.” katanya dalam hati.Rupanya dia lupa menutup pintu lumbung itu.
Kemudian, anak itu kembali ke rumah sambil menangis tersedu-sedu, dia sangat takut dimarahi orang tuanya. Tapi, mau tidak mau dia harus menceritakan kepada Ibunya.
“Mukune anakku, hana kati mongot? Isi nge lompong-lompong ne?” Tanya ibunya dengan lembut.
“Maaf Ine. Lompong ne nge meh luah, luoen aku munutup pintu e.” kata anak itu sambil menangis. Terkejutlah si Ibu, pasti suaminya akan sangat marah sekali bila mengetahui belalang-belalang yang sudah susah payah dikumpulkan lepas semuanya karena kecerobohan anaknya. Tidak lama kemudian pulanglah suaminya tanpa membawa hewan buruan satu pun.
“Serlo ni gere beruntung aku ine ! Gere ara sara peh kona ku karo, lagu nge I betih e aku geh, meh temuni bewene wan umah e.” kata sang ayah sambil terduduk lelah dan kesal. Lalu sang ayah berkata.
“Serlo ni mangan lompong din kite, Ine.” kata sang ayah. Melihat sang ayah marah dan kesal, si Ibu bingung mau mengatakan yang sebenarnya, tapi apa mau dikata, akhirnya si Ibu mengatakan dan berbohong untuk menupi kesalahan anaknya,
“Maaf Ama, lompong ne nge meh muluah, lupen aku munutup pintu e.” kata ibunya dengan suara menyesal. Lalu suaminya sangat marah sekali, tanpa sadar menampar, memukul, dan mengusir Istrinya dari rumah. Sang istri sangat sedih sekali akan perlakuan suaminya yang menyiksa dirinya lalu dia pergi masuk ke dalam hutan menuju ke atu belah.
Tanpa disadari, ia diikuti oleh anaknya yang tertua dengan menggendong adiknya yang masih bayi, lalu anak itu memanggil-manggil Ibunya sambil menangis dan berteriak-teriak.
“Ineee,,, enti taringen kami Ineee,,,” dengan berulang-ulang kali. Setelah bertemu lalu si Ibu menyuruh anaknya pergi mengambil air minum karena ibunya sangat kehausan. Setelah anak tertuanya pergi mengambil air, lalu sang Ibu pergi lagi meninggalkan anaknya, begitulah sampai berulang-ulang. Setelah sampai di dekat atu belah, lalu sang ibu menyanyikan lagu atu belah berulang-ulang kali.
“Atuu belaaaahhh atu bertangkup, ini nge sawah janyingku dahuluuuuuuu uu u u u uu u “ Dan terbukalah batu itu, dan masuklah si Ibu ke dalam batu itu tanpa menghiraukan teriakan anaknya lagi. Tiba-tiba datanglah angin kencang dan awan pun menjadi gelap menyertai si Ibu ditelan atu belah. Tinggallah kedua anaknya meratapi Ibunya dan mengambil sisa rambut ibunya yang terjepit di luar atu belah.
Demikianlah akhir cerita ini. Pesan : Karena kecerobohan seseorang dapat membawa petaka dan bencana.